Wisuda Universitas Gunung Rinjani

Selong, DS-Dekan Fakultas Hukum Universitas Gunung Rinjani (UGR), Basri Mulyani, SH, MH, mewakili Rektor setempat, mengupas tuntas Omnibus Law pada orasi ilmiah berkenaan dengan Wisuda 142 mahasiswa Angkatan XXII tahun 2021/2022 di kampus setempat, Senin (20/12). Orasi ilmiah itu diberi judul “CITA OMNIBUS LAW DAN NEGARA KESEJAHTERAAN”.

Mengutip adagium hukum Salus Populi Suprema Lex Esto yang diungkapkan Cicero seorang negarawan dan orator Romawi Kuno yang bermakna “Keselamatan Rakyat Merupakan Hukum Tertinggi”, Basri memaparkan secara implisit adagium tersebut termaktub dalam pembukaan UUD Tahun 1945 pada alinea ke 4 yang berbunyi “…membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia…”. Apabila ditafsirkan berarti keselamatan dan kemakmuran rakyat merupakan tujuan utama bernegara. Sehingga negara harus menjamin dan melindungi segenap bangsa Indonesia.

Sayangnya, kata Dekan Fakultas Hukum UGR itu, elok makna adagium tersebut belum sepenuhnya tercermin dalam enyelenggaraan negara di Indonesia. “Jangankan implementasinya, payung hokum yang digunakan sebagai landasan penentuan kebijakan negara pun kian serong dari prinsip keadilan rakyat,” katanya.

Basri memaparkan bukti, berbagai payung hukum kontroversial dan tak berpihak pada rakyat terus dilanjutkan dalam agenda Program Legislasi Nasional (Prolegnas), diantaranya Omnimbus Law UU Cipta Kerja. Tidak heran penolakan terhadap pengesahan RUU Cipta Kerja yang dilakukan oleh mahasiswa dan buruh bukan tanpa alasan. Protes terkait pengesahan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja selalu berpusat pada dua hal: ketenagakerjaan dan lingkungan hidup.

Basri menekankan salah satu cita-cita bernegara yang penting yang diwariskan oleh ‘the founding leaders’ Indonesia ialah cita negara hokum Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menegaskan, bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”.

Ide Negara Hukum, kata dia, selain terkait dengan konsep ‘ rechtsstaat’ dan ‘the rule of law’, juga berkaitan dengan konsep ‘nomocracy’ yang berasal dari perkataan ‘nomos’ dan ‘cratos’. Perkataan nomokrasi itu dapat dibandingkan dengan ‘demos’ dan ‘cratos’ atau ‘kratien’ dalam demokrasi. ‘Nomos’ berarti norma, sedangkan ‘cratos’ adalah kekuasaan. Yang dibayangkan sebagai faktor penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan adalah norma atau hukum.

“Karena itu, istilah nomokrasi itu berkaitan erat dengan ide kedaulatan hukum atau prinsip hukum sebagai kekuasaan tertinggi. Dalam istilah Inggris yang dikembangkan oleh A.V. Dicey, hal itu dapat dikaitkan dengan prinsip “rule of law” yang berkembang di Amerika Serikat menjadi jargon “the Rule of Law, and not of Man”. Yang sesungguhnya dianggap sebagai pemimpin adalah hukum itu sendiri, bukan orang,” paparnya.

“Prinsip negara hukum hendaknya dibangun dan dikembangkan menurut prinsip-prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat, serta tidak boleh mengabaikannya. Hukum tidak boleh dibuat, ditetapkan, ditafsirkan, dan ditegakkan dengan tangan besi berdasarkan kekuasaan belaka (machtsstaat) atau pun korporatokrasi,” paparnya.

Dalam kesempatab itu Basri Mulyani memaparkan rentetan peristiwa terkait Omnibus Law sejak digulirkan, dibahas, diprotes hingga keputusan Majelis Hakim Konstitusi menegaskan bahwa UU 11/2020 tentang Cipta Kerja itu cacat secara formil. Untuk itu, Mahkamah menyatakan bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusionalitas bersyarat

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Home
Account
Berita
Search
error: Content is protected !!