Setiap tahun pada musim kemarau, Indonesia disibukkan oleh asap. Tidak tanggung-tanggung sebanyak lebih dari 50 pesawat terbang dikerahkan untuk memadamkan api penyebab asap. Asap menjadi berita utama media Indonesia dan negara tetangga, karena telah menggannggu penerbangan komersial dan berbagai kegiatan ekonomi, kesehatan dan pendidikan. Kerugian  akibat asap tersebut belum dihitung oleh para  ahli  ekonomi kita.

Sebenarnya adanya asap sebagai akibat pembakaran lahan dan hutan sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu. Pada saat itu belum ada sistem informasi dan kepentingan politik dan bisnis, maka hal tersebut tidak pernah menjadi berita. Dewasa ini  industri berita, industri politik dan industri sawit saling berdesakan berebut lahan masing masing akan menambah ramai pergunjingan kita tentang asap. Karhutla adalah istilah baru dalam perbendaharaan bahasa Indonesia, Kegiatan KARHUTLA sudah berlangsung lama di Indonesia sebagai salah satu cara petani kita untuk mempertahankan kesuburan tanah dan sebagai petunjuk wilayah ulayat dari suku suku bangsa yang ada di Indonesia..

Sebenarnya kerugian jangka panjang sebagai akibat konsesi pemeintah dengan memberikan jutaan hektar areal hutan jauh lebih menarik dibahas dari pada asap karhutla musiman. Disebut karhutla musiman, karena kegiatan pembakaran lahan dan hutan dilakukan pada setiap tiga bulan sebelum datangnya musim turun hujan. Bencana musiman ini menjadi riuh, karena diseretnya  kasus ini keranah politik dengan mengaitkannya dengan presiden, walaupun kejadian ini sudah berlangsung lama dan ketika negara ini juga diperintah oleh presiden terdahulu.

Teknik pertanian.

Diwilayah Indonesia, terutama pada suku bangsa yang terbiasa melakukan pertanian  dengan membakar lahan dipastikan adalah mereka yang belum mengenal sistem irigasi tehnis. Mereka membakar lahan yang memang dimilikinya sendiri secara turun temurun. Orang Dayak, orang Sulawesi, Plores, Sumbawa dan Sumatera sampai sekarang masih mempertahankan teknik pembakaran lahan. Bukan membakar hutan. Oleh karena itu istilah Karhutla harus digunakan dengan hati hati, mengingat lahan yang dibakar adalah tanah ulayat dan hutan yang dibakar pastilah konsesi dari pemerintah, jika yang dimaksud industri sawit dan perkebunan lainnya. Jadi harus dibedakan antara cara petani tradisional dan cara korporasi membersihkan lahannya, karena korporasi mendapat ijin resmi dari pemerintah yang menjual lahan luas untuk perkebunan sawit atau tanaman industri lainnya.

Teknik pembakaran lahan oleh petani atau penduduk setempat berjalan sangat rapi. Mereka membakar areal yang sudah ditentukan luasnya, antara satu sampai dua hektar saja. Lahan tersebut digilir dalam perputaran waktu antara tiga sampai 7 tahun secara bergantian, Tidak mengherankan jika dalam waktu 7 tahun, lahan yang sebelumnya ditanami padi, kini telah berbentuk semak dengan ketinggian pohon mencapai lima meter. Ketika mereka memasuki lahan tersebut tujuh tahun kemudian, mereka memotong dan membakarnya untuk  djadikan lahan pertanian pada musim tanam tahun ini. Teknik ini sulit melebar ke areal lain, karena ranting dan pohon yang dibakar sudah dibuatkan batas oleh petani seluas rencana areal  tanaman yang direncanakan sesuai dengan jumlah bibit dan tenaga kerja dari anggauta keluarga petani tersebut.

Waktu melakukan pembakaran lahan, biasanya dilakukan tiga bulan sebelum turun hujan. Sejak saat itu petani sudah mulai bekerja, membuat dangau dan membersihkan lagi lahan yang sudah dibakar dan menyingkirkan benda benda penghalang seperti pohon dan ranting yang masih belum habis terbakar, dengan cara membakarnya lagi, Petani mulai membuat batas antara lahan yang ditanam dengan lahan lain dengan mengumpulkan duri atau membuat pagar sederhana menghindari hama babi hutan yang akan merusak tanaman.

Petani akan menanam padi ladang dari bibit yang telah disimpan pada musim tanam tahun lalu. Cara menanamnya disebut tajuk dengan menggunakan kayu yang ditajamkan ujungnya untuk membuat lubang tempat meletakkan bibit padi atau jagung. Diberbagai daerah di Indonesia, sistem bercocok tanam dengan cara membakar lahan tempat bertani sudah berlaku umum. Di Sumbawa disebut oma dan di tanah Sunda disebut huma. Sistem bertani dengan cara oma atau huma telah ada sejak nenek moyang bangsa Indonesia mengenal pertanian sederhana setelah jaman meramu.

Orang Baduy di Kecamatan Leuwidamar, Banten sampai sekarang membersihkan lahan pertaniannya dengan cara membakar calon lahan yang dikelola secara bergantian berdasarkan urutan masa bera dari 3 sampai 7 tahun lamanya. Sebenarnya kata huma atau oma berarti ladang dan di Baduy bekerja dengan cara itu disebut ngahuma. Di Sulawesi,di Plores, Bima dan Sumbawa dan orang Dayak pedalaman juga masih mempertahankan cara ini. Cara huma tetap dipertahankan sebagai model pertanian pemula sebelum sistem  irigasi tehnis diterapkan pada daerah-daerah tersebut.

Di Sumbawa, sistem oma  mulai berkurang setelah pemerintah membangun sejumlah dam yang mengubah pola pertanian mereka dengan membakar lahan dengan sistem irigasi yang baik. Walaupun demikian daerah sisa perladangan yang belum dialiri air sistem oma atau huma tetap dipertahankan. Cara ini juga sudah terbukti memberikan hasil yang baik tanpa memberikan pupuk buatan, karena bera beberapa tahun lamanya yang telah berhasil  mempertahankan kesuburan lahan. Model huma atau oma sangat kecil kemungkinan menimbulkan kebakaran yang meluas sampai ke daerah hutan tutupan atau hutan konservasi, sebab lahannya sudah pasti yang dikelola secara turun temurun oleh penduduk kampung setempat. Penduduk memeiliki lahan pertanian yang usianya sama dengan usia  berdiri nya kampung tersebut dan penduduknya berkembang biak bersama alam sekitarnya.

Industri sawit.

Untuk mendapatkan uang yang banyak, dalam bentuk perijinan, pajak dan bagi hasil, pemerintah dengan kewenangannya telah menjual jutaan Ha lahan hutan kepada pemilik modal. Jenis tanaman yang paling diunggulkan adalah kelapa sawit dan tanaman industri lainnya untuk bahan kertas atau kayu industri untuk kayu lapis dan lain lain. Yang sangat mengherankan adalah jutaan Ha lahan hutan diberikan konsesi kepada investor asing. Di Kalimantan Timur sejumlah perusahaan dari Malaysia telah menguasai ratusan ribu Ha lahan yang sebelumnya adalah hutan. Persil tersebut diberikan ijin oleh pemerintah dan seringkali bertabrakan dengan lahan yang sudah disediakan untuk penduduk tarnsmigrasi yang sudah bermukim puluhan tahun lamanya. Di daerah transmigrasi asal Lombok di Tenggarong, Kutai Kartangara mengeluh, bahwa lahan mereka yang sudah diberikan masing masing 2 Ha, tidak dapat dimasuki karena pihak perusahaan menglkaim sebagai miliknya berdasarkan peta yang dibuat oleh pihak pemerintah.

Lahan perkebunan yang diberikan pemerintah kepada investor terpaksa menggunakan sistem  membakar untuk mempersiapkan areal penanaman sawit atau tanaman industri lainnya, karena tidak mampu menggunakan peralatan modern mengingat lahannya bergelombang. Tetapi pada dasarnya mereka lebih mudah dengan cara membakar karena hasilnya cepat dilihat dan murah. Cara ini meniru apa yang dilakukan oleh masyarakat, padahal lahannya sangat luas. Akibat yang paling menggemparkan adalah asap. Asap tidak pernah dipermasalahkan, seandainya tidak ada akibat negatif seperti terganggunya kesehatan (ispa), mengganngu penerbangan (penundaan keberangkatan)dan berbagai kegiatan pendidikan (libur) dan pemerintahan. Asap menjadi masalah bahkan juga masalah dengan negara negara tetangga, karena itulah semua  pihak harus melakukan evaluasi ulang secara menyeluruh lalu mengambil kesimpulan secara konfrehensip dan tidak disimpulkan secara emosi. Memang akibat karhutla, telah menimbulkan berbagai aspek dalam masyarakat, tetapi sebaiknya pemerintah lebih waspada untuk mengambil kesimpulan yang berkaitan dengan masyarakat.

Pertama bagaimana pemerintah memberikan ijin pada industri sawit tanpa memperhitungkan perbandingan luas lahan untuk industri dan konservasi alam dengan mempertahankan luas areal hutan yang ideal melalui kajian yang mendalam sebelum diberikan ijin. Kasus korupsi pada perijinan diberbagai daerah menunjukkan lemahnya standar pemberian ijin, kaum pemodal dapat mengatur dalam  pengambilan keputusan  berdasarkan lokasi yang diinginkan. Dalam hal ini banyak kasus, pemerintah lebih memihak pada pemodal ketimbang membela petani tradisional yang miskin yang sudah ada ditempat itu secara turun temurun.

Apakah dalam perijinan yang diberikan oleh pemerintah telah ada kajian yang mendalam dan  metetapkan secara rinci tentang cara membersihkan lahan sebelum tanaman industri mulai ditanam pada lahan tersebut. Hal ini  sangat penting  agar tidak menjadi persoalan jika terjadi hal ini yang sering menimbulkan masalah seperti asap dan kebakaran  hutan dengan tidak terkendali seperti yang terjadi sekarang ini.

Apakah pemerintah sudah melakukan  peninjauan secara fisik lokasi yang akan dijadikan obyek perijinan untuk lahan tanaman industri tersebut. Hal ini untuk menghindari pertikaian antara pemilik konsesi dengan penduduk yang telah terlebih dahulu memiliki hak atas lahan tersebut baik hak ulayat adat turun temurun atau hak yang diberikan seperti lokasi yang dicadangkan untuk transmigrasi agar tidak terjadi  benturan  antara perusahaan dan penduduk seperti yang terjadi di Tanggarong, Kutai Kaltim tersebut ?.

Kriminalisasi.

Setelah gelombang asap putih mengitari udara Sumatera dan Kalimantan, dianggap mengganggu alur penerbangan dan menimbulkan masalah pada kesehatan dan pendidikan, pemerintah mulai mencari biang keroknya.Tanpa pikir panjang jelas sasaran tembaknya adalah siapa yang membakar lahan yang menyebabkan asap mengepul keudara lalu menghalangi jarak pandang setiap penerbangan ke daerah tersebut. Dengan mudah aparat keamanan menemukan biang keroknya yang diidentifikasi sebagai penduduk dan korporasi. Aparat penegak hukum biasanya menyandarkan pada akibat yang ditimbulkan oleh persitiwa dan bukan mencari apakah ada tujuan untuk menggannggu penerbangan, pendidikan atau kesehatan tersebut. Masalahnya karena cara bertani huma sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu.Agak berbeda dengan korporasi atau BUMN. Lembaga itu ada karena ada kemauan dari pemerintah dengan cara memberikan ijin, sementara pemerintah mendapat keuntungan sebagai pendapatan negara atau pendapatan daerah.

Menjatuhkan tuduhan kriminal terhadap petani miskin karena mengolah lahan petaniannya dengan cara membakar, jelas  adalah kesalahan fatal. Karena petani huma kita tergolong masayarakat adat yang paling miskin dan tinggal di daerah pedalaman. Mereka hidup dari bercocok tanam untuk kehidupan keluarga menunggu musim penghujan enam bulan kemudian. Dalam Undang Undang Dasar  pasal 18 B ayat 2 dan pasal 28 I ayat  3, Oleh karena itu Pemerintah  Daerah terlebih  dahulu  harus mengakui  bahwa lahan garapan huma yang dimiliki masyarakat adat setempat  sebagai kekayaan budaya yang diakui dan didaftarkan sebagai Peraturan Daerah, demikian pula semua wilayah adat yang oleh suku bangsa di Papua agar kita terhindar dari kriminalisasi masyarakat adat yang masih teringgal. Areal perladangan yang dikelola secara bergantian dalam siklus 3 sampai 7 tahun adalah tanah ulayat dari masyarakat setempat yang harus dihormati oleh pemerintah dan pemerintah daerah. Contoh yang baik adalah Peraturan Daerah Kabupaten Lebak, Banten No. 32/2001 Tentang  Perlindungan Atas Tanah Ulayat Baduy seluas 5100 Ha, Akan tetapi ada masalah besar yang kurang diperhatikan oleh para pengamat, yakni dengan dicabutnya tanggung jawab pemerintah daerah mengurus masalah hutan dan daerah pesisir, suatu proses kerusakan tanpaknya  akan terus berlangsung disebabkan oleh semakin jauhnya pengurusan hutan dari pemerintah Kabupaten/Kota kembali kepada Pemerintah Pusat, termasuk pemberian ijin konsesi atau perijinan lainnya berkaitan dengan hutan atau daerah pesisir dan pulau pulau kecil. Karena itu kurang beralasan untuk menyalahkan pemerintah kabupaen diwilayah asap tersebut.

Demikian pula dengan memasukkan korporasi sebagai pesakitan karena teknik pembakaran lahan, apakah sudah memenuhi unsur pelanggaran hukum?. Pihak penegak hukum juga harus memeriksa dengan teliti pasal-pasal dari perijinan yang diberikan oleh pemerintah. Apakah terdapat kelemahan dari ketentuan pemberian ijin sebagai kelaiaian pemerintah atau bagaimana, hal ini untuk menentukan apakah cukup bukti untuk mempersalahkan pemerintah sebagaai akibat ijin yang diberikan yang menimbulkan kehebohan asap yang menjadi sumber berita akhir akhir ini?. Hal ini untuk membuktikan bahwa setiap kejadian yang merugikan orang banyak jangan  hanya dibebankan pada pihak masyarakat atau korporasi saja.Perhatikan juga  ketika pemerintah dikalahkan oleh pengadilan dalam kasus kehutanan kita.

Memang investasi sektor HTI dan sawit banyak menarik minat investor, mengingat besarnya harapan profit yang akan diperoleh dengan investasi yang tidak terlalu besar, terutama lahan konsesi yang murah dan mudah didapatkan. Keuntungan negara dari pajak produksi komoditas hutan dan tanaman industri tersebut tidaklah sebanding dengan kerusakan hutan dan eco system dalam jangka panjang. Tidak demikian halnya dengan petani huma yang secara turun temurun menggarap areal yang sudah digarap sebelumnya dan berputar kembali pada tahun berikutnya. Memang pemerintah tidak mendapatkan pajak yang besar dari rakyat miskin, tetapi bukankah mereka berhak mempertahankan hidupnya dengan melanjutkan sistem  pertanian yang  selaras dengan adat dan  kemampuan yang  dapat dilakukan?.

Saran-saran.

Di Pulau Sumbawa, sejak pemerintah membangun sejumlah dam/bendungan, telah banyak membawa perubahan pada pola pertanian oma/huma ke pertanian dengan irigasi yang teratur. Memang perpindahan sistem  oma ke sistem  pertanian tehnis, dari hanya menanami lahan sekali setahun berubah menjadi tiga kali setiap tahun memerlukan proses.Tetapi kenyataan di Sumbawa sejak sepuluh tahun lalu, kegiatan oma dengan membakar lahan sangat berkurang. Mereka masih melakukan sistem  pembakaran lahan pertanian hanya di lahan dataran tinggi saja, seperti di Tanjung Meangis, kecamatan Brangbiji,   Kecamatan Lenangguar di Sumbawa, Talonang di Sumbawa Barat, Kecamatan Pekat di Dompu, Wera dan Sanggar di Bima. Ini adalah bukti keberhasilan pemerintah dengan mengubah secara signifikan pola huma menjadi pertanian dengan irigasi teknis.

Mempersalahkan masyarakat sebagai akibat sistem pertanian huma tidak seluruhnya benar, karena petani hanya membakar lahan seluas rencana lokasi penanaman saja. Biasanya tidak lebih dari dua hektar lahan yang sudah digarap sebelumnya. Jika satelit memindai ribuan hot spot, hal itu menunjukkan bahwa setiap petani hanya membakar lahan garapannya yang sempit dan tidak mungkin akan merambat ke luar area apalagi ke areal hutan. Saya berani memastikan, bahwa asap tebal yang hampir mnutupi langit di Sumatera dan Kalimantan, pasti datangnya dari daerah konsesi pemerintah dengan jutaan hektar dan dibakar secara massal. Untuk itu kita harus berhati hati  menjatuhkan tuduhan pada petani miskin yang hanya tergantung dari pertanian huma..

Pemerintah juga bertanggung jawab akan masa depan petani huma yang miskin itu dengan  berbagai cara yang lazim. Pertama pemerintah harus mengakui bahwa areal huma yang dimiliki petani adalah tanah ulayat yang harus dihormati. Jika seandainya dalam wilayah tersebut terdapat kemungkinan pembangunan dam/bendungan, pemerintah agar merencanakan pembangunannya dengan melibatkan masyarakat sejak perencanaanya hingga pelaksanaanya. Bukankah pembangunan itu dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat?. Selain itu pemerintah juga agar memberikan advokasi yang baik tentang akibat negatif secara umum dari sistem  huma tersebut. Mereka juga diajak dalam setiap kegiatan  penghutanan kembali agar mereka ikut serta menjaga dan memelihara hutan yang ada disekitarnya..

Pola pikiran sentralistik yang dianut pemerintah akhir akhir ini harus dihentikan. Kembalikanlah wewenang dan tanggung jawab pemeliharaan hutan dan daerah-daerah pesisir kepada pemerintah daerah Kabupaten/Kota sebagai inti otonomi daerah  yang kita canangkan sejak era reformasi. Semakin  dekat lembaga yang bertanggung jawab dengan permasalahan yang terjadi semakin cepat permasalahannya diselesaikan, demikian pula sebaliknya segala masalah yang berkaitan dengan hutan kembali kepada pemerintah pusat, karena tanggung jawab daerah Kabupaten telah dilucuti dengan berlakunya UU No.23/2014 yang sentralistik itu. Sejak era Undang Undang No.23/2014, tak sedikit kerusakan yang dialami oleh hutan dan laut kita, karena pemerintah bawahan merasa tidak bertanggung jawab. Dengan diambilnya tanggung jawab oleh pemerintah Pusat  dari tangan Pemerintah Kabupaten/Kota, dewasa ini Dinas Kehutan Kabupaten/Kota dihapuskan. Demikian pula anggaran  pemerintah Daerah untuk itu dihapuskan. Sementara Pemerintah Pusat melalui Gubernurnya tidak memiliki kemampuan menjangkau semua wilayah yang sebelumnya menjadi tanggung jawab Kabupaten/Kota.

Pemerintah harus membuat cetak biru penggunaan lahan hutan sebagai areal konsesi untuk industri sawit atau tanaman industri lainnya. Hal ini penting agar perencanaan penggunaan lahan  dapat dikendalikan untuk keperluan ecosystem dan sumberdaya alam dan konservasi yang akan menentukan masa depan pembangunan dan kesejahteraan rakyat. Berdasarkan perencanaan yang baik, maka setiap ada calon investor yang berkaitan dengan penggunaan lahan hutan harus diwaspadai dengan cermat, karena kelompok investor dewasa ini lebih berpandangan jauh tentang bisnisnya dibanding cara pemerintah memandang masa depan negara dan bangsanya. Hal ini adalah pandangan umum di era sekarang ini yang mau tidak mau kita semua sudah terlibat didalamnya.

Mataram, 22 September 2019

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Home
Account
Berita
Search
error: Content is protected !!